10/15/16

Setara USD 14.39, Jumlah Siswa SD Kelas Satu yang Tidak Naik Kelas - Kemendikbud

foto

194.967 siswa Sekolah Dasar kelas satu tidak naik kelas (kompas/10 Oktober 2016). Jika dihitung dalam persentase, sebesar 46,19% dari 422.082 jumlah total siswa SD yang tidak naik kelas di Indonesia.
Angka yang lumayan panjang untuk menerangkan jumlah kegagalan dalam institusi pendidikan dasar. Jika di era saya SMA nilai minimal adalah 75% dari nilai sempurna, maka jumlah siswa kelas satu di indonesia harus mengikuti program remidi, karena kurang dari nilai standart.

Di jaman saya, hanya siswa yang tidak dapat memahami pelajaran dengan kategori "buodoooh" saja yang tidak naik kelas. Baik, bodoh disini indikatornya adalah dia menuliskan huruf A,B,C dan Jakarta untuk pertanyaan hitung seperti 1+1=.... atau dia menulis angka 10 untuk menjawab pertanyaan "apa nama ibu kota indonesia?".


Nah itulah kategori ekstrem yang jelas saja sangat jarang dicentang saat mengisi form data tingkat kemampuan menjawab soal siswa.

Karena jarang maka berita mengejutkan itu datang dan sangat menarik untuk diperhatikan. Melalui rilis resmi, sekolah dasar di indonesia menorehkan prestasi. Ya, siswa kreatif, anti mainstrim, berani, berbeda, dan apalah - apalah, (Seperti gaya Ahok berpolitik) mencatatkan diri dalam jumlah angka yang besar. Jumlahnya setara atau bahkan lebih dari 14,39 USD dalam kurs rupiah hari ini.

Dengan jujur, saya merasa aneh. Anak SD kelas satu tidak naik kelas saja sudah mengganggu logika pendidikan saya, apalagi angkanya sampai ratusan ribu. Ya, ratusan ribu dikali seribu pula jumlah kebingungan saya.

Anak SD, apa sih yang salah. Apalagi kelas satu. Mereka itu loh baru saja lepas dari taman, mereka baru saja selesai bermain di taman. Baru rampung naik turun ayunan. Eh, kok sudah dipaksa beradaptasi dengan standarisasi formil?

Tidak adakah toleransi untuk kreativitas dan proses adaptasi, atau minimal memberi waktu untuk mereka dapat melakukan sedikit analisis situasi. Membiarkan mereka mengenal kawan, saling berpelukan, tanpa ada persaingan. Sebentar saja melihat kebersamaan mereka dengan saling berbagi, membantu, bukan mendorong mereka dalam kompetisi bernomor urut standart kemampuan membaca pertanyaan dan menulis jawaban.
Masa dimana logika masih basah, mudah dibentuk dan diwarna. Idealnya adalah menanam motif positif untuk logikanya. Bukan memangkas kecintaan pada dunia barunya dengan label "TIDAK NAIK KELAS".
  1. Apa yang salah dengan anak SD kelas satu yang belum mampu menulis?
  2. Apa mereka harus bisa membaca dan berhitung dulu lalu naik kelas dua?
  3. Apa mereka harus bisa menulis huruf 'a' kecil sangat berbeda dengan huruf 'o' kecil dulu baru naik kelas dua?
  4. Apa tidak boleh hanya bisa melukis mata atau hidung atau gunung dengan jalan setapak dan matahari diantaranya untuk naik kelas dua?
  5. Apa tidak boleh hanya bermotif menjaga semangat dan kecintaan terhadap dunia sekolahan untuk membuatnya naik kelas dua?
  6. Apa hanya siswa dengan pola pikir kuantitatif, terukur sederhana, duduk, diam, mendengarkan, mengerjakan, tepat menulis jawaban saja yang boleh naik kelas dua?
  7. Lalu bagaimana dengan mereka, siswa kelas satu, yang menggunakan pola kreatif, dan tidak jarang gurunya tak mampu menggunakan rumusan alogaritma untuk menghitung rasio dari pola berpikir yang diciptakannya?

Dari tujuh kalimat yang berakhir tanda tanya, jika anda (pendidik siswa sekolah dasar kelas satu) bisa menjawab minimal empat jawaban dengan alasan logis dan tepat, maka mendapat skor diatas minimal, dengan standart nilai 75% nilai sempurna.
Atau dengan kata lain berhak mendapat sertifikasi guru sosial media.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk berkomentar. Saya tunggu kabar kamu, selanjutnya.

Saya Hisyam Suratin, salam.