Pasca berakhirnya Masa Oreintasi Siswa di tingkat SMP dan SMA, berbagai berita terkait dampak MOS tampaknya juga ikut berakhir dari hedline media. Meninggalnya sejumlah siswa pasca mengikuti kegiatan MOS dikaitkan dengan aktivitas kegiatan yang diharapkan menjadi bekal dalam menempuh jenjang pendidikan baru itu.
Melalui rilis Kemendikbud seperti yang diberitakan detik.com pada kamis (06/08), empat orang siswa meninggal saat mengikuti MOS. Mereka adalah Evan Christoper Situmorang yang diduga kelelahan dan meninggal sesaat setelah mengikuti MOS, Fazri Fauzi siswa SMK Al Hikmah asal Garut yang tenggelam saat pelaksanaan MOS, juga seorang siswa asal Tuban dan seorang siswa baru SMP Negeri 11 Tanjung Uban, Bintan, Kepulauan Riau.
Hal ini menujukkan adanya kesalahan dalam pelaksanaan MOS atau saat ini yang sudah berganti menjadi MOPDB (Masa Orientasi Peserta Didik Baru). Aktivitas yang jauh dari relevensi tujuan peserta didik, justru menjadi point yang tidak pernah luput dari karakter aktivitas MOPDB. Beralasan
memberikan pembelajaran mental, peserta diperintahkan untuk melakukan hal yang sama sekali tidak berdampak positif terhadap intelektualitas. Seperti skotjam atau aktivitas fisik lain, yang lebih pantas dilakukan atlet olahraga atau Menpora agar lebih memahami esensi olahraga.
memberikan pembelajaran mental, peserta diperintahkan untuk melakukan hal yang sama sekali tidak berdampak positif terhadap intelektualitas. Seperti skotjam atau aktivitas fisik lain, yang lebih pantas dilakukan atlet olahraga atau Menpora agar lebih memahami esensi olahraga.
Alih – alih memberikan dampak positif terhadap inteletualitas, justru “sang senior” merusak estetika umum yang sudah dibangun dengan susah payah. Mereka menghiasi tubuh adik - adiknya dengan berbagai ornamen yang tidak menciptakan kesan indah. Seakan melecehkan, mereka meminta sang peserta MOPDB menggunakan benda yang tak juga sedap dipandang.
Tidak terbatas itu, aktivitas fisik yang diberikan tanpa mengukur kemampuan fisik setiap orang yang berbeda, jelas merupakan kesalahan. Mari kita bayangkan, seorang pemain sepakbola yang bertumpu pada kemampuan fisik saat beraktivitas saja harus memiliki porsi berbeda dalam latihan. Apalagi pelajar yang identik dengan kemampuan intelektual yang jarang melibatkan kemampuan fisik lebih dalam kegiatannya. Ini bisa disebut pendidikan yang keliru dan ngelantur.
Patut dipertanyakan, dimana peran guru sebagai pengawas. Atau mereka justru menikmati perpeloncoan itu, karena dulu juga pasti diperlakukan seperti itu saat mengikuti kegiatan orientasi, bahkan lebih parah. Atau juga tidak memahami pengertian pendidikan, sehingga mengabaikan aktivitas yang secara mendalam memberi dampak terhadap kepribadian tersebut. Jika mereka ada, saya rasa Menteri Pendidikan tidak perlu turun langsung dan dengan berapi – api membakar muka sang pendidik dengan memberi pengarahan langsung.
Inilah yang menjadi permasalahan, jika tidak secara serius mendapat perhatian, hal ini bisa menjadi budaya yang buruk. Jika pendidik hanya berfokus pada kemampuan kognitif dan menganggap pendidikan hanya sebatas kemampuan mengerjakan soal 1+1=2, bangsa ini bisa menemui ajal.
Gunung padang dan berbagai situs yang disebut – sebut sebagai simbol kemutakhiran peradaban nusantara di eranya, bisa tidak berguna. Tidak berarti apapun terhadap kelangsungan hidup generasi hari ini. Jika pola pendidikan di negeri ini masih saja keliru dan ngelanturseperti yang saat ini terjadi. Evan dan tiga orang sahabatnya yang kini sudah tenang di alam berbeda, justru akan mengucapkan belasungkawa kepada pendidikan di tempat mereka lahir dan dibesarkan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk berkomentar. Saya tunggu kabar kamu, selanjutnya.
Saya Hisyam Suratin, salam.