Terkenal dengan jargon "gitu aja kok repot", sosok Gus Dur menjadi fenomena bangsa ini. Lahir dari keluarga yang konsen dalam pendidikan, kiprah Gus Dur sebagai pemikir menjadi tidak terbantahkan. Berbagai latar belakang masyarakat menyatu dalam pernyataan pluralisme. Fanatisme bertumpu pada keselarasan dalam perbedaan. Saya lahir di masa orba, tapi tumbuh dan berkembang di era reformasi. Entah apa yang terlintas, saya melihat sosok Gus Dur nyleneh, dari pemikir lain. Dengan humor cerdas tanpa menjadikan orang lain sebagai tumbalnya. Jauh lebih baik ketimbang humor cerdas yang dipahami remaja masa kini. Kontribusi Gus Dur sebagai anak seorang ulama besar, memberi sumbangsih terhadap dinamika birokrasi negara ini. Pernah bertengger di posisi tertinggi dalam pemerintahan, meski harus lengser juga akhirnya. Kontroversi menggunakan celana pendek saat memberi pernyataan sebagai kepala negara, juga menjadi cerita unik negarawan ini. Menjadi tokoh dalam partai berbasis islam yang cukup besar, PKB, Gus Dur justru terlihat hangat bersama tukang becak melalui pemikiran dan opininya. Dia merakyat, itu salah satu opini tentang sosok Gus Dur. Tak banyak bicara, namun begitu berpengaruh ketika berucap. Saya melihat ini sebuah fenomena, terlepas dari teori komunikasi yang menyatakan background seorang komunikator berpengaruh terhadap kekuatan pesan yang disampaikannya. Gus Dur unik. Hingga hari ini, gaya pemikiran maju yang dimilikinya belum juga tampak diwariskan. Bahkan anak kandungnya, seperti Yeni Wahid juga belum terlihat moncer seperti bapaknya. Kita butuh negarawan seperti Gus Dur, walau mungkin bukan sebagai oposisi radikalis, dia cukup mewarnai pola pikir kritis dengan berkemas keindahan sastra yang (menurut saya) menjadi salah satu substansi pola komunikasi Guru Bangsa ini. Sosok Gus Dur, diwarisi siapa?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih untuk berkomentar. Saya tunggu kabar kamu, selanjutnya.
Saya Hisyam Suratin, salam.