10/25/16

Suporter, Kalian Bukan Front Pembela!

foto

Senin (24/10), tepat pukul 20.34 WIB jari saya bergetar, serasa disengat tsunami rindu pada mama cantik yang nganter anaknya sekolah pagi itu. Lekuk senyumnya dan ranum tubuhnya masih tertancap jelas di galeri ponsel dua jutaan yang dibayar ngutang. Ya, sensasi rasa antara pukul 20.00 - 21.00, senin, minggu terakhir bulan oktober 2016 ini mirip dengan sensasi pagi itu.

Jadi gini, saya menemukan tanda pagar bertulis #BobotohBerduka nangkring di trending topik twitter. Jengkel, marah, geregetan jadi satu membentuk tapal kuda di otak. Pikiran saya terasosiasi menuju aksi FPI dengan balok kayu di tangan saat merazia warung - warung pada bulan puasa. Bentrok, saling lempar, tawuran dan hal - hal yang lebih bisa menyakiti fisik ketimbang sekedar digampar saat ketahuan jalan bareng temen wanita lain.

Ya, benar saja, kegeraman itu membuahkan hasil, tanda pagar #BobotohBerduka merupakan respon netizen terhadap informasi meninggalnya seorang bobotoh sebelum pertandingan Persib vs Persegres berlangsung.
Tuhan, lagi? Masih diijinkan itu aksi "bodoh" merenggut nyawa, lagi? Otak saya kok kurang bisa menelaah alasan Tuhan membiarkan hal itu terjadi. Oh ya, saya lupa, Tuhan selalu punya cerita.

Sebagai seorang penyuka olah raga yang menyajikan pertarungan antar dua kelompok berpunggawa sebelas manusia, aksi itu benar - benar tidak dapat diterima. Rivalitas dan apalah itu sebutannya, kok ya gak nemu ujungnya jika harus dicari kebenarannya.

Ini semacam fenomena gunung es aksi korup pada sistem koruptif birokrasi. Tidak ada tindakan tegas untuk ini, petugas berwenang hanya menghukum personal atau oknum suporter yang secara kebetulan melibatkan diri dalam peristiwa berdarah. Sementara aksi cuci otak yang seringkali kita dengar saat pertandingan berlangsung tidak mendapat respon. Jika dianalogikan, ini seperti, polisi hanya menilang pengguna aksesoris motor yang dianggap tidak sesuai aturan, tapi duduk ngopi dengan pemilik perusahaan aksesoris itu. Ini sinetron!

Jika dilihat kembali, sungguh memprihatinkan, delapan orang yang telah diamankan petugas atas kasus meninggalnya Muhammad Rovi Arrahman alias Omen adalah remaja dengan rentang usia 16 - 18 tahun. Aduh duh, tahu apa sih anak seusia itu tentang hukum sebab akibat, mereka itu kemungkinan besar lebih mengerti cara godain cabe-cabean ketimbang berpikir akibat dari lemparan batu yang bisa membuat tengkorak kepala memar hingga menyebabkan kematian.

Jika hanya oknum suporter yang dapat dipidanakan saat ada kasus seperti ini, idealnya PSSI wajib beraksi lebih sadis. Membuat dan menerapkan sistem yang lebih brutal dari drible dan kreasi serangan korup politisi. Harus!

Hukum induk suporter yang mendukung dengan cara menyimpang. Perketat, perjelas, jangan dimainkan. Lebih baik suporter melakukan aksi jahit mulut ketimbang kita harus mendengar umpatan yang seringkali kelepasan atau sang audiomen televisi telat menurunkan atmosfer audio kameramen di lapangan. Ya, mereka tidak sejago itu untuk bertindak responsif seperti robot internet yang dapat memblokir situs hanya dengan mendapat signal keyword.

Jangan menutup mata, jangan cuma mau diwawancara tapi tidak mau menyelesaikan masalah yang tidak sederhana ini. Jelas, suporter itu pilar popularitas sepak bola. Siapa yang mau rela bayar mahal untuk hal yang tidak menarik. Industri dari kaki - kaki tidak mulus itu begitu besar. Bisa menghasilkan lautan koin bergambar tokoh negara dan burung garuda.

Dengan ini, sudahlah, berdamailah, tak perlu saling umpat. Karena dari ucapan tak baik itu bisa membuat kecelakaan. Lihat saja Ahok, dia yang mengaku terbiasa berucap dengan frase buruk itu akhirnya juga mendapat kritik tajam. Sekalipun dianggap bukan provokasi oleh penegak hukum dan partai pengusungnya.
Sudahlah, kita sudah lelah melihat sepak bola berdarah. Mari, daripada batu itu kita lempar kepada mereka yang kita anggap rival, lebih baik dikumpulkan lalu kita gunakan membangun pondasi sekolahan. Bangsa kita masih butuh sekolahan. Mari buka mata, kita seringkali masih dibodohi dan dipermainkan para sarjana yang tak memahami esensi berbangsa.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih untuk berkomentar. Saya tunggu kabar kamu, selanjutnya.

Saya Hisyam Suratin, salam.